Monday, January 30, 2006

Cicak

Sewaktu membuka pintu kamar mandi dari dalam, kudengar bunyi pluk seperti sesuatu yg kecil, padat dan empuk, jatuh ke lantai. Saat melangkah keluar dari kamar mandi, kutemukan dia terbaring terbalik di lantai; setengah penyet, setengah hidup, setengah mati. Sepertinya terjepit di antara bagian atas daun pintu dan kusen pintu kamar mandi. Sejak saya masuk tadi. Membayangkan dirinya tergencet di pintu sedari tadi membuatku merinding. Saya ingin menolongnya, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Memungutnya saja tidak berani. Akhirnya berdiri saja di sana, menatapnya, merasa putus asa. Menurutku sebentar lagi dia akan mati juga, tapi pikiran itu tidak membantuku sama sekali. Kalau dia mati, semut akan merubunginya. Saya tidak mau dia dirubungi semut. Tapi, apa yang dapat saya lakukan? Akhirnya saya berpaling dan menuju ke kamarku. Beban rasa bersalah menggantung di atasku.

Di Samalona pernah ada seorang tamu Jepang yang sudah tua; tua namun enerjik dan penuh semangat hidup. Sewaktu ngobrol dengan kami di teras bungalownya, sambil lalu dia memungut seekor cicak yg kebetulan ada di dinding di dekatnya. Cicak itu dielus-elusnya, digelitik kepala dan dagunya (kalau cicak memang punya dagu -- saya tidak tahu), dan diciumnya. Itu saja sudah lebih dari cukup buat kami. Saya khususnya. Orang ini tampak begitu menyatu dgn alam. Saya yakin sang cicak dapat merasakan kejernihan suara hatinya, dapat melihat kebeningan hatinya, seperti melihat taman laut Samalona di cuaca yg cerah.

Mungkin saya naif, tapi tapi saya benar-benar iri pada orang Jepang itu. Sejak kecil saya ingin sekali disukai oleh binatang. Sewaktu balita, teman-teman khayali saya adalah tokoh2 binatang dari kartun Hanna-Barbera, terutama dari serial Jabberjaw dan Laff-a-lympics. Hingga terdampar di Samalona itu, saya cukup dapat bergaul baik dgn anjing saja. Bahkan seekor anjing di rumah guru SMPku tidak setuju dgn pernyataanku itu. Sekarang cicak. Saya benar-benar perlu mempelajari perilaku mereka, bagaimana otak mereka yg kecil itu bekerja.
Salah seekor pernah jatuh di punggungku bertahun-tahun yg lalu, tapi tidak tinggal lama di sana. Saya tidak menepisnya; sepertinya dia tidak dapat melekat dgn baik di kemejaku, sehingga jatuh lagi. Begitulah kontak pertamaku.

Mungkin kata binatang pada 'disukai oleh binatang' terlalu luas cakupannya. Oh ya, apakah saya sudah menyinggung soal ular laut dan belut-belut di perairan Samalona? Hm, ceritanya lain lagi.

4 Comments:

Blogger Hesti said...

saya gak suka cicak, geli ngeliatnya..
tapi ngebayangin dia kegencet pintu sampe mati, jadi kasian juga, hiks..
cerita ttg ular laut? ohh no way!

btw, yang mana nih yang bisa saya link ke blog saya, yang versi Indo atau Inggris?
rajin juga bikin tulisan bilingual.

Sunday, 19 February, 2006  
Blogger Samalona said...

kayaknya saya lupa bilang kalo saya juga agak, sedikit, begitulah, geli sama cicak. sedikit malu juga, kadang-kadang, terutama waktu dia diam di plafon, seperti memandang saya tanpa berkedip. sebenarnya kami hanya malu-malu, masing-masing menunggu siapa yg berani membuka percakapan lebih dulu.

silakan dan terima kasih kalo mau dilink; versi yg mana saja boleh. dua-duanya lebih boleh lagi.

Wednesday, 22 February, 2006  
Blogger Ummu Syifa said...

Weh, kami (saya dan cicak) juga pernah lho saling memandang, lama... Ngga tau juga apa yang dipikirkan sang cicak.

Wednesday, 12 April, 2006  
Blogger Credo said...

Klo aku sih geli banget sama cicak.. Soalnya pas kecil pernah ga sengaja nginjak cicak yang dah mati di kamar mandi..

Thursday, 09 November, 2006  

Post a Comment

<< Home