Ikan Langka Bernama King
Tidak setiap hari kami menemukan ikan terdampar di pantai Samalona.
Suatu hari kami menemukan seekor bayi hiu macan. Setidaknya saya menganggap itu hiu macan. Hiunya sudah pasti. Badannya ramping dan berotot ulet (seperti versi lautnya cheetah), dan sirip-siripnya yang jarak satu dengan lainnya sedemikian rupa, jelas menunjukkan tujuannya untuk berenang cepat. Dan, sirip-siripnya khas milik ikan hiu. Anda tahu kan, sirip punggungnya yang akan muncul di permukaan sebagai tanda peringatan kehadirannya. (Jelas bukan ikan sarden). Bintik-bintik jarang mirip kepunyaan macan tutul di tubuhnyalah yang mencetuskan 'hiu macan' di kepala saya yang mulai jenuh dengan kekosongan, yang mendambakan kegairahan baru. Ukurannya sedikit lebih besar dari pemukul bola kasti, tepatnya pemukul baseball. Hanya satu kekurangannya. Dia kelihatan sudah mati.
Ada satu pulau kecil di utara seperti garis tebal di permukaan laut, dengan kotak kecil yang mestinya rumah, yang bisa Anda lihat kalau memandang jauh agak lama. Kata orang saat laut pasang pulau itu tenggelam. Dan, kata orang lagi, di sana banyak hiunya. 'Banyak' atau 'ada', saya tidak terlalu ingat persis lagi. Anak hiu macan yang digendong temanku itu sudah cukup jadi bukti kalau cerita itu tidak sepenuhnya isapan jempol nelayan kelas teri (dan témbang). Tidak perlu sampai dimakan induknya baru percaya. O ya, kami apakan anak hiu macan itu ya? Saya kira kami mengembalikannya ke laut.
Di kesempatan lain, temanku menemukan seekor ikan yang tidak jelas jenisnya. Kulitnya yang terlihat keras, seperti kerang, kasar tidak beraturan, berwarna coklat kelabu. Matanya agak berdekatan di atas kepalanya. Semuanya mengisaratkan lingkungan berkarang, mungkin dari laut dalam. Penampilannya mestinya berfungsi untuk penyamaran. Yang menarik adalah rahang bawahnya yang menjorok rata -- serata semua bagian bawah tubuhnya -- lebih panjang dari bibir atasnya. Seperti Rahwana, tapi lebih bagus. Kami kira dia sangar tapi bersahabat. Dia bisa jadi penyanyi rock yang menyanyikan lagu-lagu perdamaian. Tadinya kami kira dia bisa disejajarkan dengan Steven Tyler, Mick Jagger, Rod Steward, atau Alice Cooper (hanya punggungnya yang 'berantakan' tidak cocok dengan rambut 'rebonding'nya Alice cooper).
Yang satu ini lumayan masih hidup, tetapi kami tidak yakin apakah dia akan bertahan hidup bila kami mengembalikannya ke laut, di perairan Samalona ini, yang jauh dari laut dalam. Jadi kami memutuskan memeliharanya dalam akuarium darurat yang isinya hanya dia seekor. Akarium itu kami isi dengan air laut, hiasi dengan batu karang laut, lalu kami memasukkannya. Kami menamainya King.
Kami menempatkannya dekat pintu keluar dapur, tempat yang paling sering kami kunjungi. Hampir setiap menit dan setiap hari kami singgah di tempat King. Kami bahkan berbicara pada King. Tadinya kupikir saya sudah kehilangan emosi karena kurang berhubungan dengan manusia di Surga yang Terasing ini, tempat indah yang tidak ada dalam peta, saking kecilnya. Sekarang saya bisa berbagi rasa dengan King. Entah siapa yang menemani siapa.
Jelaslah sudah bahwa tempat King bukan di darat. Setelah beberapa hari, kami menemukannya masih dalam gayanya yang khas, tetapi sudah mati. Saya sudah lupa apa yang kemudian kami lakukan pada cangkangnya. Mungkin kami mengembalikannya ke laut. (Tapi saya masih mengingat King. Setelah tigabelas tahun, saya sendiri terkejut menyadari saya masih mengingat jelas bagaimana rupa King. Dan pribadinya yang menarik. Saya kira hubungan kami terlalu singkat untuk terbentuknya satu ikatan, sehingga kepergiannya tidak sempat membuat saya merasa kehilangan. Hanya merasa kosong. Merasa semestinya ada sesuatu dan kemudian sesuatu itu hilang, tapi tidak tahu apa. King sendiri tidak hilang dari ingatanku).
Suatu hari kami menemukan seekor bayi hiu macan. Setidaknya saya menganggap itu hiu macan. Hiunya sudah pasti. Badannya ramping dan berotot ulet (seperti versi lautnya cheetah), dan sirip-siripnya yang jarak satu dengan lainnya sedemikian rupa, jelas menunjukkan tujuannya untuk berenang cepat. Dan, sirip-siripnya khas milik ikan hiu. Anda tahu kan, sirip punggungnya yang akan muncul di permukaan sebagai tanda peringatan kehadirannya. (Jelas bukan ikan sarden). Bintik-bintik jarang mirip kepunyaan macan tutul di tubuhnyalah yang mencetuskan 'hiu macan' di kepala saya yang mulai jenuh dengan kekosongan, yang mendambakan kegairahan baru. Ukurannya sedikit lebih besar dari pemukul bola kasti, tepatnya pemukul baseball. Hanya satu kekurangannya. Dia kelihatan sudah mati.
Ada satu pulau kecil di utara seperti garis tebal di permukaan laut, dengan kotak kecil yang mestinya rumah, yang bisa Anda lihat kalau memandang jauh agak lama. Kata orang saat laut pasang pulau itu tenggelam. Dan, kata orang lagi, di sana banyak hiunya. 'Banyak' atau 'ada', saya tidak terlalu ingat persis lagi. Anak hiu macan yang digendong temanku itu sudah cukup jadi bukti kalau cerita itu tidak sepenuhnya isapan jempol nelayan kelas teri (dan témbang). Tidak perlu sampai dimakan induknya baru percaya. O ya, kami apakan anak hiu macan itu ya? Saya kira kami mengembalikannya ke laut.
Di kesempatan lain, temanku menemukan seekor ikan yang tidak jelas jenisnya. Kulitnya yang terlihat keras, seperti kerang, kasar tidak beraturan, berwarna coklat kelabu. Matanya agak berdekatan di atas kepalanya. Semuanya mengisaratkan lingkungan berkarang, mungkin dari laut dalam. Penampilannya mestinya berfungsi untuk penyamaran. Yang menarik adalah rahang bawahnya yang menjorok rata -- serata semua bagian bawah tubuhnya -- lebih panjang dari bibir atasnya. Seperti Rahwana, tapi lebih bagus. Kami kira dia sangar tapi bersahabat. Dia bisa jadi penyanyi rock yang menyanyikan lagu-lagu perdamaian. Tadinya kami kira dia bisa disejajarkan dengan Steven Tyler, Mick Jagger, Rod Steward, atau Alice Cooper (hanya punggungnya yang 'berantakan' tidak cocok dengan rambut 'rebonding'nya Alice cooper).
Yang satu ini lumayan masih hidup, tetapi kami tidak yakin apakah dia akan bertahan hidup bila kami mengembalikannya ke laut, di perairan Samalona ini, yang jauh dari laut dalam. Jadi kami memutuskan memeliharanya dalam akuarium darurat yang isinya hanya dia seekor. Akarium itu kami isi dengan air laut, hiasi dengan batu karang laut, lalu kami memasukkannya. Kami menamainya King.
Kami menempatkannya dekat pintu keluar dapur, tempat yang paling sering kami kunjungi. Hampir setiap menit dan setiap hari kami singgah di tempat King. Kami bahkan berbicara pada King. Tadinya kupikir saya sudah kehilangan emosi karena kurang berhubungan dengan manusia di Surga yang Terasing ini, tempat indah yang tidak ada dalam peta, saking kecilnya. Sekarang saya bisa berbagi rasa dengan King. Entah siapa yang menemani siapa.
Jelaslah sudah bahwa tempat King bukan di darat. Setelah beberapa hari, kami menemukannya masih dalam gayanya yang khas, tetapi sudah mati. Saya sudah lupa apa yang kemudian kami lakukan pada cangkangnya. Mungkin kami mengembalikannya ke laut. (Tapi saya masih mengingat King. Setelah tigabelas tahun, saya sendiri terkejut menyadari saya masih mengingat jelas bagaimana rupa King. Dan pribadinya yang menarik. Saya kira hubungan kami terlalu singkat untuk terbentuknya satu ikatan, sehingga kepergiannya tidak sempat membuat saya merasa kehilangan. Hanya merasa kosong. Merasa semestinya ada sesuatu dan kemudian sesuatu itu hilang, tapi tidak tahu apa. King sendiri tidak hilang dari ingatanku).
2 Comments:
Salam Kenal.
Penasaran dgn Makassar, apalagi setelah baca Makassar nol km, yg dikirim sesama blogger dari Makassar juga!
Salam Kenal juga.
Sekarang giliran saya yg penasaran. Kalau belum ketemu dgn usaha sendiri, bisa tolong kasih tau, Makassar nol km linknya apa dan para blogger asal Makassar itu misalnya siapa?
Saya akan coba cari di blognya.
Post a Comment
<< Home