Tuesday, June 23, 2009

Nyawa di Samalona

Setelah perginya bapakku, saya berpikir lagi tentang Samalona. Hari-hari itu kematian terasa jauh. Hidup terasa masih muda. -- Yah, bukan diriku. Saat itu saja saya sudah sadar kalau diri sudah beranjak tua (padahal usia 23). Tapi dengan datang dan berlalunya anak-anak baru bakka' (= ABG), diriku yang bergeming di sini serasa segar di luar berkarat di dalam dihembus angin asin dari laut kehidupan.

Padahal, kematian itu dekat sekali. Terlepas dari keyakinan bahwa maut datang tanpa terduga, mari melihat resiko-resiko yang ada dan yang pernah terjadi.

Bertolak dari Makassar dengan speedboat, kapasitas 4 orang, paling banyak 6. Namanya speedboat, hidungnya terus terangkat dalam kecepatan lebih dari 135kmj. Saya tidak tahu jenis speedboat dan rata-rata kecepatan, tapi dengan membandingkan desau angin kala naik sepeda motor, kira-kira sebegitu. Pertama kali naik saya mengira akan tersiksa oleh mabuk laut. Tidak. Ternyata yang berbahaya adalah terbiasa hidup dekat dengan resiko tanpa merasa perlu waspada. Tak seorangpun memakai jaket pelampung.

Beberapa ratus meter sebelum dermaga arah dari Makassar di timur laut, di musim hujan speedboatpun harus berjuang melawan 3 arus yg bertabrakan.

Berenang menemani bapak dan anak Wunsche sampai ke perbatasan warna biru bening dan biru gelap, sampai ke bawah menara pembatas laut lepas. Tanpa peralatan sama sekali (toh saya juga tidak tahu cara memakainya), tidak juga kaki katak. Tercenung memandang gelapnya dasar perairan Samalona yang tiba-tiba jatuh ke dalam jurang. Sedetik lama baru menyadari kenyataan di bawah permukaan ada arus kuat. Teringat cerita seorang nelayan bersama sampannya terbawa arus sampai Pare-Pare, 155km dari Makassar. Sedetik segera menarik dan menendang menjauh. Sedetik lebih lama, apa yang akan terjadi?

Tanpa mendekati batas laut lepaspun ada bahaya mengancam di tepi garis pantai. Ular laut, belut laut, kaki keram, terjepit di antara koral-koral setengah-raksasa pada saat gelombang datang. Apakah saya tidak berlebihan? Hewan-hewan laut itu memang ada di Samalona, meskipun jenisnya saya tidak tahu; berbisa atau tidak, yang jelas tidak ingin saya mencari tahu dari dekat. Menjelang sore hari dari atas dermaga saya dapat melihat mereka berenang di daerah yang padat populasi koralnya, tempat yang memang jarang saya arungi bahkan di hari siang sekalipun. Mungkin secara bawah sadar terasa tidak nyaman berenang melintas di bawah dermaga. Lagipula terkadang ada yang memancing di dermaga.

Ada lagi bahaya di dekat daratan. Di juluran pantai yang pasirnya menjorok ke laut bagian tenggara, pantainya akan berubah bentuk dan berubah arah sesuai dengan perubahan arus laut. Perlahan-lahan dalam hitungan mili per hari pantai itu bergeser lebih ke timur atau lebih ke selatan. Di daerah itu arus laut berputar karena terjebak bentuk lengkung pasir pantai.

Kalau dijadikan satu begini jadi keliatan menyeramkan ya? Itulah salah satu alasan adanya pos marinir di dekat pangkal dermaga. Selain menjaga perairan dari perilaku yang merusak seperti pemboman ikan, para marinir juga membantu menjaga keselamatan pengunjung. Termasuk menjadi penjaga pantai. Saya berusaha membantu sebisa mungkin, setidaknya mencegah anak-anak kecil bermain terlalu jauh dari pantai atau dari orang tuanya. Atau memberitahu bahaya di pantai tenggara itu. O ya, saya belum menceritakan ya? Pada satu kunjungan darmawisata sekolah beberapa bulan sebelum saya bergabung di pulau, dua orang pelajar (kakak beradik) tenggelam di sana karena tidak sanggup melawan pusaran arus yang menarik mereka ke dasar.


Biarkanlah orang hanya melihat keindahan Samalona saja. Serahkan pada marinir dan kami untuk menguatirkan dan mengusahakan keselamatan mereka.

Sunday, June 21, 2009

The fat's in the fire, the water's in the tank

Entry baru segera menyusul.


Silakan datang lagi.