Tuesday, October 24, 2006

Musik Pengantar (lanj.)

Beberapa lagu demikian kuatnya di ingatan; gambar-gambar peristiwa saat lagu-lagu itu diputar/dinyanyikan tersorot jelas di depan mata, dan selaput mata ini benar-benar menjadi layar dari sorotan proyektor film yang memutar langsung gambar hidup yang tersimpan dalam kaleng gulungan film yang namanya ingatan.

Sesuai dengan judulnya, musik-musik atau lagu-lagu yang kusebutkan di sini jadi terekam bukan karena didengarkan saat duduk manis di ruang keluarga atau tiduran di kamar, melainkan ada peristiwa yang diiringinya. Saya sebenarnya sudah kepengen mendaftarkan dari yang paling awal yang dapat kuingat, tapi itu terlalu jauh (umur empat atau lima tahun, ya? hehe, lebih baik tidak, deh). Jadi, lagu-lagu yang ada di sini adalah lagu-lagu yang mengiringi pengalamanku dan jalan-jalanku.

  • Retreat sma ke Tinggimoncong, sebelum Malino. Sepanjang jalan, di bak truk tentara, di atas barang-barang perbekalan, Si Ucok yang main gitar, saya dan yang lain nyanyi. Ada beberapa lagu, tapi yang paling sering diulang "Obladi Oblada" versi The Beatles. Kenapa? Karena kita hanya ingin mengulang terus bagian yang selalu diakhiri dengan ketawa (... with a couple of kids running in the yard//of Desmond and Molly Jones//ha ha ha ha ha ...).
  • Darmawisata ke Leang Leang, yang jumlah tangganya tidak pernah tetap, pulangnya dengar kaset "Mr. Bad Guy" punya Freddy Mercury di walkman pinjaman.
  • Di Bogor, semobil dengan Deddy, Franco, dll (kemana, ya? Kalau tidak salah saat menuju Curug Nangka, mau mendaki Gunung Salak). Ada yang iseng-iseng memetik gitar, maka jadilah kita bernyanyi "Semua Ada Di Sini", lagunya Enno Lerian, dan beberapa lagu lain.
  • Suatu pagi di hari-hari masa pengangguran sesudah lulus sma, saya keluar rumah menuju Perpustakaan Wilayah yang jaraknya satu kilometer lebih sedikit. Di sana membaca sampai sekitar tengah hari, kemudian keluar berjalan-jalan. Tanpa sadar, saya akhirnya telah menyelesaikan satu putaran penuh berjalan kaki, ketika tiba di rumah sekitar jam 8 malam. Rutenya kurang lebih: rumah - perpustakaan - talla' salapang - jalan kecil - panakkukang - hertasning - jalan kampung - tallo - pltd - jalan kampung - pannara' - satu desa yang tak kutahu namanya (tidak ada listrik di sana; saya lewat di sana persis saat sisa cahaya sore menghilang dan gelap turun) - jalan besar yang saya lupa namanya - gang-gang kecil - sultan alauddin sungguminasa - ko'bang - makam sultan hasanuddin - rumah. Berapa lagu yang terlintas selama itu? Tidak ingat apakah awalnya ada musik pengantar. Sepertinya tidak. Yang kuingat, sudah malam, arah ke rumah, tapi masih jauh (belum terpikirkan jalurnya; masih di jalan yang baru kali itu kulewati. Hm. Lantas bagaimana saya tahu itu mengarah ke rumah?), dan entah dari mana lagu ini muncul di kepala. "In My Life", The Beatles. Apakah saya dengan sengaja mencari di antara perbendaharaanku lagu yang kira-kira bisa membantu mengatur napas agar lebih tenang, dan agar penat dan berat di kaki dapat ditanggung sedikit lebih lama lagi? Oh, bukan. Ternyata tempat-tempat yang baru kulihat itulah yang memicu perenunganku, dan entah bagaimana, lagu itu menawarkan diri sebagai musik pengantar.
  • Lomba pidato bahasa Inggris yang diadakan Oxford Course. Kelas 2 sma. Ada orang bijak, entah di mana, menyarankan untuk menyanyikan lagu rock keras-keras untuk menghilangkan ketegangan dan demam panggung (sekarang saya cenderung ketegangan dan demam panggung itu jangan hilang, cukup dikurangi). Itu juga pertama kali memakai dasi sendiri (dasi yang dipakai waktu sd tidak termasuk). Saya memilih "We Will Rock You" dan "Another One Bites The Dust". Oh ya, tentu saja menyanyinya bukan di atas panggung, tapi sebelumnya.
  • Retreat Sekolah Minggu di Pulau Kayangan. Di dinginnya tengah malam/pagi buta, di dermaga, sambil menerawang permukaan laut, teman meminjamkan walkmannya, dan terdengarlah "Party Doll", Mick Jagger.
  • Satu malam ikut dengan Arnold dan rombongan bapaknya ke satu pulau kosong. Setiba di sana, ikut di perahu yang dikayuh pelahan, menyaksikan mereka menangkap ikan (pari?) dengan tombak. Sesudah makan mengelilingi api unggun, saya dan Arnold jalan-jalan di pantai. Bapaknya agak jauh di depan, memainkan harmonika. Suaranya sayup-sayup menembus malam. "Suzanna" (... oh, suzanna, don't you cry for me//I come from Alabama with my banjo on my knee ...).

Monday, October 16, 2006

Summertime

from the movie I'll Be There

Tuesday, October 10, 2006

Musik Pengantar

Kemarin saya menyadari betapa sepinya hari-hari tanpa musik. Jadi penasaran, berapa lamakah kita dapat bertahan hidup tanpa mendengarkan musik (termasuk bernyanyi-nyanyi sendiri di kamar mandi)? Atau, berapa hari sekalikah dosis terendah bagi kita untuk menikmati musik? (Artinya, kalau ditambah satu hari lagi tanpa musik, pasti ada sesuatu yang tidak beres terjadi dikarenakan otak kita agak gersang).

Seminggu terakhir, saya sanggup, dan bersedia, terlena mendengarkan swing jazz dan big bands. Beberapa hari sebelumnya, telingaku sempat rindu untuk dibelai oleh ejekan-ejekan dan sindiran-sindiran (meski tersamarkan dalam lagu cinta) Bob Dylan. Beberapa hari sebelumnya, terpaut rapat, hanya dipisahkan oleh matahari terbenam, seakan bioritme saya sedang berada dipuncak gelombangnya dan hanya dapat dipuaskan oleh Led Zeppelin, Pink Floyd, Bob Dylan versi konser atau dua album terakhir ("Time Out of Mind" dan "Love and Theft"). Anehnya, setelah periode swing, atau beberapa saat sebelum saya mulai tergoda untuk 'ganti aliran', saya merasa dapat menerima sedikit Andrea Boccelli. Sepanjang bulan ini, di lain pihak, satu-dua kali saya masih suka menyenandungkan "Summertime" versi Charlotte Church dalam filmnya "I'll Be There".

(O ya. Saat menulis ini, dini hari ini, sebenarnya saya sedang mendengarkan Alternative Rock. Staind, Muse, 30 Seconds To Mars, H.I.M., Dashboard Confessional, RHCP, Pearl Jam, Transplants)

Hmm. Hidup yang berisik, ya. Padahal saya masih jelas mengingat sekitar empat hari berturut-turut di kamar kos sempat tidak mendengarkan musik sama sekali (di tempat kerja mestinya musik pasti terdengar, tapi saat itupun begitu pulang kerja dan masuk rumah kos, serasa tiba-tiba menjadi senyap kembali). Dan, kalau tidak salah, empat hari itulah yang menumbuhkan sepercik pemikiran yang kemudian berkembang menjadi perenungan ini: berapa lamakah kamu dapat hidup tanpa musik dan tetap waras? Paling lama berapa hari?