Sunday, October 11, 2009

Sakit Gigi

Ada gigi saya yang berlubang. Beberapa kali teringat untuk menambalnya, dan beberapa kali terlupa juga. Mungkin dulu sudah pernah ditambal -- saya lupa. Sekarang lubang itu berteriak lagi, dan saya teringat lagi akan keperluan untuk menambalnya.

Sekarang saya memahami bahwa teriakan lubang gigi saya adalah alarm peringatan bahwa saya sudah mencapai titik terendah kesehatan raga. Kalau belum sakit gigi berarti saya masih punya cadangan stamina, cadangan cakra. Tentunya ini bukan cara yang baik: menunggu alarm berbunyi baru bertindak menuruti Tatacara Menanggapi Keadaan Darurat. Menunggu sakit gigi baru menata kembali jadwal istirahat.

Dalam keadaan seperti ini saya paling menghargai handai-taulan yang sekedar tersenyum mendengar penjelasan saya, alih-alih memberi nasihat dan usulan tentang gaya hidup yang sehat. Saya kira begitulah rasa terima kasih setiap orang sakit yang mendapatkan simpati; yang dibutuhkan adalah dukungan moral, bukan desakan-desakan yang menjatuhkan semangat yang sudah jatuh karena badan sakit.

Di Samalona saya juga pernah sakit gigi. Saya kurang tahu apakah saat itu sakit gigi saya sudah merupakan alarm atau belum; saya sendiri waktu itu belum memikirkan ke sana. Masa-masa itu saya sangat-sangat bugar -- di lain pihak, pekerjaan otot juga sangat-sangat menekan. Kalau dipikir sekarang, bisa jadi perlombaan antara kesehatan dan beban kerja sudah dimulai sejak pertama kali saya menjejakkan kaki di sana, dan sakit gigi saya adalah satu momen kemenangan tekanan kerja itu (mudah-mudahan satu-satunya momen kemenangannya. Coba saya ingat-ingat ...).

Keterbatasan obat-obatan di Samalona menciptakan tantangan sendiri. Saya sudah lupa apakah saya sempat menelan obat. Obat-obatan tradisional juga tidak terpikirkan. Daun jarak tidak ada. Daun pohon bakau? Ah. Mungkin saya bisa berkumur air laut. Sudahlah, tidak ada gunanya berandai-andai.

Yang masih kuat dalam ingatan adalah saya berbaring di lantai rumahpanggung-restorasi yang setengah terbuka (tempat para tamu makan pagi sambil menikmati pemandangan laut). Oh ya! Samar-samar saya ingat saya sempat makan obat. Hanya sakit gigi ini begitu bandel dan denyut di kepala tidak surut-surut mengikuti ombak pantai jelang tengahmalam. Saya memilih tidur di sana karena udaranya sejuk, tidak terlalu berangin, tapi ada cukup semilir yang mudah-mudahan membantu. Tetap saja saya harus melewati satu malam dalam demam.

Entah bagaimana dan kapan saya kembali dengan gigi yang bungkam. Hanya sekali itu saja saya mengalaminya, tapi benak ini tidak mau melupakan. Mungkin ada manfaatnya, sekadar sebagai ingatan bahwa saya pernah mengalami yang lebih buruk dari sekarang. Hmm, sungguh, detik ini teriakan lubang gigiku surut jauh.