Monday, April 21, 2014

Berganti Kulit

Setelah sebulan pertama menjejakkan kaki di Samalona, saya terbiasa mandi air tawar sekali-sehari. Untuk menghemat air tawar. Selebihnya tinggal nyebur di laut. Dan saya senang berlama-lama di dalam air. Fajar, pagi, jelang siang, siang, sore, senja. Paling malam pernah sekitar jam 7. Tentu saja hanya kalau sedang tidak ada pekerjaan. Pekerjaan selalu ada setiap hari, tetapi kalau sedang tidak ada tamu kami bisa bersantai sedikit lebih lama. Selama sebulan pertama itulah saya mengalami pergantian kulit. Karena berjemur di pantai setelah berenang, apalagi siang hari, kulitku terpanggang. Maklum belum pengalaman, jadi saya tidak mengenal yang namanya sun block atau krim matahari. Lapisan kulit luar saya menjadi iritasi, perih, berkerut, dan kemudian mengelupas. Setelah kulit yang terbakar itu terlepas semuanya, saya tidak putih lagi. Mau dibilang kecoklatan juga masih kurang. Kata turis asing sih, warna baru saya itu mirip orang Indian. Kalau kata orang Manado, warna saya ini warna toreh. Kalau kita menggoreng udang sampai berwarna merah matang, nah itu dia.

Sunday, October 11, 2009

Sakit Gigi

Ada gigi saya yang berlubang. Beberapa kali teringat untuk menambalnya, dan beberapa kali terlupa juga. Mungkin dulu sudah pernah ditambal -- saya lupa. Sekarang lubang itu berteriak lagi, dan saya teringat lagi akan keperluan untuk menambalnya.

Sekarang saya memahami bahwa teriakan lubang gigi saya adalah alarm peringatan bahwa saya sudah mencapai titik terendah kesehatan raga. Kalau belum sakit gigi berarti saya masih punya cadangan stamina, cadangan cakra. Tentunya ini bukan cara yang baik: menunggu alarm berbunyi baru bertindak menuruti Tatacara Menanggapi Keadaan Darurat. Menunggu sakit gigi baru menata kembali jadwal istirahat.

Dalam keadaan seperti ini saya paling menghargai handai-taulan yang sekedar tersenyum mendengar penjelasan saya, alih-alih memberi nasihat dan usulan tentang gaya hidup yang sehat. Saya kira begitulah rasa terima kasih setiap orang sakit yang mendapatkan simpati; yang dibutuhkan adalah dukungan moral, bukan desakan-desakan yang menjatuhkan semangat yang sudah jatuh karena badan sakit.

Di Samalona saya juga pernah sakit gigi. Saya kurang tahu apakah saat itu sakit gigi saya sudah merupakan alarm atau belum; saya sendiri waktu itu belum memikirkan ke sana. Masa-masa itu saya sangat-sangat bugar -- di lain pihak, pekerjaan otot juga sangat-sangat menekan. Kalau dipikir sekarang, bisa jadi perlombaan antara kesehatan dan beban kerja sudah dimulai sejak pertama kali saya menjejakkan kaki di sana, dan sakit gigi saya adalah satu momen kemenangan tekanan kerja itu (mudah-mudahan satu-satunya momen kemenangannya. Coba saya ingat-ingat ...).

Keterbatasan obat-obatan di Samalona menciptakan tantangan sendiri. Saya sudah lupa apakah saya sempat menelan obat. Obat-obatan tradisional juga tidak terpikirkan. Daun jarak tidak ada. Daun pohon bakau? Ah. Mungkin saya bisa berkumur air laut. Sudahlah, tidak ada gunanya berandai-andai.

Yang masih kuat dalam ingatan adalah saya berbaring di lantai rumahpanggung-restorasi yang setengah terbuka (tempat para tamu makan pagi sambil menikmati pemandangan laut). Oh ya! Samar-samar saya ingat saya sempat makan obat. Hanya sakit gigi ini begitu bandel dan denyut di kepala tidak surut-surut mengikuti ombak pantai jelang tengahmalam. Saya memilih tidur di sana karena udaranya sejuk, tidak terlalu berangin, tapi ada cukup semilir yang mudah-mudahan membantu. Tetap saja saya harus melewati satu malam dalam demam.

Entah bagaimana dan kapan saya kembali dengan gigi yang bungkam. Hanya sekali itu saja saya mengalaminya, tapi benak ini tidak mau melupakan. Mungkin ada manfaatnya, sekadar sebagai ingatan bahwa saya pernah mengalami yang lebih buruk dari sekarang. Hmm, sungguh, detik ini teriakan lubang gigiku surut jauh.

Tuesday, June 23, 2009

Nyawa di Samalona

Setelah perginya bapakku, saya berpikir lagi tentang Samalona. Hari-hari itu kematian terasa jauh. Hidup terasa masih muda. -- Yah, bukan diriku. Saat itu saja saya sudah sadar kalau diri sudah beranjak tua (padahal usia 23). Tapi dengan datang dan berlalunya anak-anak baru bakka' (= ABG), diriku yang bergeming di sini serasa segar di luar berkarat di dalam dihembus angin asin dari laut kehidupan.

Padahal, kematian itu dekat sekali. Terlepas dari keyakinan bahwa maut datang tanpa terduga, mari melihat resiko-resiko yang ada dan yang pernah terjadi.

Bertolak dari Makassar dengan speedboat, kapasitas 4 orang, paling banyak 6. Namanya speedboat, hidungnya terus terangkat dalam kecepatan lebih dari 135kmj. Saya tidak tahu jenis speedboat dan rata-rata kecepatan, tapi dengan membandingkan desau angin kala naik sepeda motor, kira-kira sebegitu. Pertama kali naik saya mengira akan tersiksa oleh mabuk laut. Tidak. Ternyata yang berbahaya adalah terbiasa hidup dekat dengan resiko tanpa merasa perlu waspada. Tak seorangpun memakai jaket pelampung.

Beberapa ratus meter sebelum dermaga arah dari Makassar di timur laut, di musim hujan speedboatpun harus berjuang melawan 3 arus yg bertabrakan.

Berenang menemani bapak dan anak Wunsche sampai ke perbatasan warna biru bening dan biru gelap, sampai ke bawah menara pembatas laut lepas. Tanpa peralatan sama sekali (toh saya juga tidak tahu cara memakainya), tidak juga kaki katak. Tercenung memandang gelapnya dasar perairan Samalona yang tiba-tiba jatuh ke dalam jurang. Sedetik lama baru menyadari kenyataan di bawah permukaan ada arus kuat. Teringat cerita seorang nelayan bersama sampannya terbawa arus sampai Pare-Pare, 155km dari Makassar. Sedetik segera menarik dan menendang menjauh. Sedetik lebih lama, apa yang akan terjadi?

Tanpa mendekati batas laut lepaspun ada bahaya mengancam di tepi garis pantai. Ular laut, belut laut, kaki keram, terjepit di antara koral-koral setengah-raksasa pada saat gelombang datang. Apakah saya tidak berlebihan? Hewan-hewan laut itu memang ada di Samalona, meskipun jenisnya saya tidak tahu; berbisa atau tidak, yang jelas tidak ingin saya mencari tahu dari dekat. Menjelang sore hari dari atas dermaga saya dapat melihat mereka berenang di daerah yang padat populasi koralnya, tempat yang memang jarang saya arungi bahkan di hari siang sekalipun. Mungkin secara bawah sadar terasa tidak nyaman berenang melintas di bawah dermaga. Lagipula terkadang ada yang memancing di dermaga.

Ada lagi bahaya di dekat daratan. Di juluran pantai yang pasirnya menjorok ke laut bagian tenggara, pantainya akan berubah bentuk dan berubah arah sesuai dengan perubahan arus laut. Perlahan-lahan dalam hitungan mili per hari pantai itu bergeser lebih ke timur atau lebih ke selatan. Di daerah itu arus laut berputar karena terjebak bentuk lengkung pasir pantai.

Kalau dijadikan satu begini jadi keliatan menyeramkan ya? Itulah salah satu alasan adanya pos marinir di dekat pangkal dermaga. Selain menjaga perairan dari perilaku yang merusak seperti pemboman ikan, para marinir juga membantu menjaga keselamatan pengunjung. Termasuk menjadi penjaga pantai. Saya berusaha membantu sebisa mungkin, setidaknya mencegah anak-anak kecil bermain terlalu jauh dari pantai atau dari orang tuanya. Atau memberitahu bahaya di pantai tenggara itu. O ya, saya belum menceritakan ya? Pada satu kunjungan darmawisata sekolah beberapa bulan sebelum saya bergabung di pulau, dua orang pelajar (kakak beradik) tenggelam di sana karena tidak sanggup melawan pusaran arus yang menarik mereka ke dasar.


Biarkanlah orang hanya melihat keindahan Samalona saja. Serahkan pada marinir dan kami untuk menguatirkan dan mengusahakan keselamatan mereka.